Kamis, 07 Maret 2013

Sungai dan Empang

Alkisah, di antara rimbunan pohon di tepian hutan. Tampak sebuah empang yang berair tenang, tanpa kegiatan apapun di situ. Dengan santai si empang mengajak sungai di sisinya mengobrol, "Hai sungai, kuperhatikan setiap hari kamu tidak henti-hentinya mengalir. Apakah engkau tidak merasa lelah dan bosan? Sering kali aku melihatmu menarik kapal yang berat, kadang mendorong perahu yang sedang berlayar atau mengangkut perahu bambu para nelayan yang tidak terhitung jumlahnya. Kehidupan yang melelahkan dan membosankan seperti itu sampai kapan baru berhenti? Terus terang saja, kalau aku harus mengerjakan semua itu, aku pasti kelelahan dan jenuh sampai mati."

"Dibandingkan dengan dirimu, alangkah mujur nasibku ini. Memang aku tidak setenar dirimu dan tidak tercetak di gambar peta. Tidak ada orang yang menyanjungku dan membuat lagu untukku. Tapi untukku semua itu tidak ada artinya. Lihatlah, aku selalu berbaring di atas tanah lembab yang empuk, layaknya seorang putri sedang tidur di atas kasur bulu angsa. Aku bisa menikmati kedamaian dan keindahan alam setiap saat, tidak perlu terganggu oleh kapal dan perahu yang berat, kotor, dan berisik itu."

"Memang kadang ada sih, sedikit musibah mengganggu ketenanganku, itupun hanya karena selembar daun yang terjatuh di permukaan airku. Bahkan tiupan angin dari empat arah pun tidak pernah mengganggu kedamaian hidupku. Alangkah nikmatnya hidup ini dan aku tidak mau menukar dengan apapun untuk beralih menjadi seperti dirimu."

Mendengar kalimat panjang dari si empang, dengan sabar si sungai menjawab, "Sobat empang, namaku adalah sungai, karenanya aku wajib meninggalkan kehidupan yang santai, aku harus mengikuti hukum alam, setiap hari mengalir tidak berhenti. Dengan bantuan angin dan tanah, arus airku ini melayani berbagai kebutuhan manusia. Aku memberikan seluruh tenagaku kepada alam. Dari situlah aku mendapat penghormatan dan sanjungan. Seumur hidupku aku akan mengalir dan terus mengalir dan aku pasti akan selalu diingat manusia sepanjang masa. Dan waktu itu, kamu entah di mana, orang-orang pun pasti akan melupakanmu!"

Dan benar seperti yang dikatakan si sungai, dia terus mengalir sepanjang tahun dan si empang semakin lama makin mengering dan akhirnya dilupakan orang.

****

Dalam cerita di atas, empang berkias sebagai insan yang puas hanya berdiam diri dengan keberadaannya tanpa berbuat apa-apa. Egois dan hanya memikirkan kepentingannya, dirinya sendiri.

Sedangkan sungai menunjukkan sosok pribadi yang menghargai jati diri, siap melayani, dan membantu orang lain sehingga dapat menikmati kehidupannya dengan selalu bersahaja dan berbahagia.

Dari sungai pula, kita bisa belajar tentang keikhlasan, terutama dalam hal ibadah kepada Allah. Seperti yang telah tertulis dalam Al Quran pada QS. Al An'am: 162-163 "Katakanlah: Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. tiada sekutu bagiNya; dan demikian Itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)" dan QS. Al Bayyinah: 5 "Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan keta`atan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus."

Semoga kita termasuk orang-orang yang ikhlas dalam beribadah dan beramal. aamiin ^_^

(Kisah hikmah hari ini, oleh-oleh dari kajian ba'da maghrib di Masjid Al Falah)

Selasa, 05 Maret 2013

Pokok-pokok Kaidah Fiqih

Masjid Mujahidin UNY, 03/03/2013

Tadi siang aku datang ke masjid kampus. Satu setengah jam lebih awal dari agenda liqo yang dijadwalkan ba'da asar. Sengaja aku membawa sebuah buku bacaan dari kos, berniat menggunakan waktu sebelum liqo untuk membaca novel -kado ulang tahun dari seorang sahabat- itu.
Sesampainya di lantai dua, mataku memandang sekeliling. Hmmm, suasana hujan seperti ini, masjid memang salah satu tempat yang nyaman untuk menghabiskan waktu, pikirku. Aku pun melangkah ke selatan, sebuah sudut yang sepi dan cukup leluasa untukku mengamati aktivitas orang lain di sana.
Murajaah, tilawah, diskusi, curhat, mainan laptop, mainan hp; mengamati semua itu membuatku urung membaca, akhirnya buku dan pena yang menjadi pilihanku. Corat-coret banyak hal yang begitu saja muncul di benak tatkala mata mengeja makna di setiap gerak yang tercipta berbagai laku manusia.
Tak terasa, adzan asar pun berkumandang, menghentikan semua aktivitas yang ada untuk segera memenuhi panggilan-Nya. Usai shalat asar, aku hampiri seorang ukhti yang tengah berbincang bersama sang Murabbi. Tapi tak serta merta liqo segera dimulai. Setelah ngobrol ngalor-ngidul, sharing tentang banyak hal, dan ukhti-ukhti mulai berdatangan maka akhirnya forum liqo pun dimulai.
 Pokok-pokok kaidah fiqih, inilah materi yang disampaikan sang Murabbi pada liqo pekan ini:
  1. Al umuru bi maqasidiha: segala urusan itu tergantung pada tujuannya
    Seperti yang disebutkan dalam hadits Arba'in yang pertama, Inna a'malu bi niat; sesungguhnya setiap amal perbuatan itu tergantung pada niatnya. Niatlah yang membedakan apakah aktivitas yang kita lakukan itu bernilai ibadah atau hanya sekedar kebiasaan saja.
    Makan misalnya; makan kita hanya akan memberi rasa kenyang jika kita melakukannya sebagai sebuah kebiasaan untuk menghilangkan lapar. Namun makan akan bernilai ibadah jika niat kita benar: makan agar perut kenyang dan tenaga terisi kembali sehingga tidak mengganggu aktivitas ibadah dan amal kita.
  2. Al yaqinu laa yuzalu bisysyak: keyakinan itu tidak bisa dihilangkan dengan keraguan
    Dasar dalam melakukan segala sesuatu adalah yakin. Iman yang kuat akan menghilangkan keragu-raguan. Maka ketika kita ragu-ragu dalam suatu hal, lebih baik tinggalkanlah; ambil sesuatu yang diyakini dan paling mendekati kebenaran.
    Seperti ketika shalat; kadang kita ragu-ragu dalam menghitung rakaat yang sudah terjalani. Sebenarnya kita sudah menjalankan 3 rakaat, tetapi keyakinan kita mengatakan bahwa kita baru menjalani 2 rakaat saja. Dalam keadaan seperti ini, hitunglah sesuai apa yang kita yakini.
  3. Al masyaqqatu tajribu taisira: kesulitan itu bisa menarik kemudahan
    Hal ini bukan berarti menggampangkan. Sulit tidak sama dengan susah. Sulit adalah keadaan dimana apa yang telah kita usahakan tetap tidak bisa menyelesaikannya. Seperti yang Allah katakan dalam QS Al Insyiraah, Inna Ma'al 'Usri Yusra (Sesungguhnya setelah kesulitan ada kemudahan).
    Percayalah bahwa Allah senantiasa mengirimkan kemudahan di setiap kesulitan yang kita hadapi. Allah selalu menyediakan jalan keluar di setiap kebuntuan yang kita hadapi. Dan Allah menjanjikan pertolongan di setiap masalah yang kita hadapi.
  4. Dhararu yuzalu: kemudharatan itu harus dihilangkan
    Ketika akan memutuskan sesuatu, pilihkan kondisi yang paling aman dan tidak merugikan diri kita. Ambil keputusan yang beresiko paling kecil, untuk meminimalisir kemudharatan.
    Misal; suatu ketika kita dalam perjalanan pulang dari mengambil uang di ATM, tiba-tiba ada seorang preman yang sepertinya dalam keadaan mabuk. Preman tersebut menghalangi jalan kita dan memaksa untuk diberi uang yang baru kita dapatkan untuk berjudi. Dia mengancam dengan sebuah pisau di tangan. Maka dalam memutuskan apakah sebaiknya kita memberikan uang tersebut meski kita tahu uang itu akan digunakan untuk berbuat maksiat, atau kita memilih mempertahankan uang tersebut dengan alasan takut berdosa jika uang itu digunakan untuk berjudi namun nyawa kita akan terancam; maka kita harus memilih melakukan hal yang lebih kecil mudharatnya yaitu menyerahkan uang tersebut kepada si preman.
  5. Al 'adatu muhakkamatu: adat kebiasaan itu bisa ditetapkan sebagai hukum
    Adat kebiasaan yang dimaksud disini adalah adat kebiasaan yang tidak menyimpang dari Al Quran dan Hadits, sehingga dapat dijadikan atau diberlakukan sebagai hukum.
    Misalnya dalam hal jual beli; pada zaman Rasulullah tidak ada istilah e-commers atau jual beli online. Dahulu akad jual beli dikatakan sah jika memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan, salah satunya adalah barang yang diperdagangkan itu berwujud sesuai dengan keadaan yang dinyatakan dalam akad. Namun pada masa modern ini kita mengenal istilah jual beli online yang lebih praktis, tidak perlu ada pertemuan langsung antara penjual dan pembeli. Barang dikirim ke rumah pembeli, sedangkan pembayaran dilakukan melalui Bank dengan cara pembeli mentransfer uang kepada rekening penjual. Apakah hal ini dibenarkan dalam islam? jawabannya adalah tergantung. Apabila jual-beli online dilakukan dengan baik, saling percaya, dan tanpa unsur penipuan; karena e-commers telah menjadi adat kebiasaan di era globalisasi ini, maka hal ini diperbolehkan. Contoh lain, masih dalam hal jual beli; dahulu akad jual beli dilakukan dengan ijab qabul antara penjual dan pembeli, tapi sekarang terutama di pasar hal itu tidak relevan untuk dilakukan lagi. Mengingat ijab qabul membutuhkan waktu yang cukup lama dengan beberapa syarat yang harus terpenuhi, jika dilakukan di pasar saat ini maka akan sangat mereporkan. Sehingga cukup dengan serah terima uang dan barang diantara penjual dan pembeli, hukum jual beli sedah dapat dikatakan sah seperti sahnya akad pada zaman Rasulullah.

    Allahu a'lam. Semoga yang sedikit ini dapat bermanfaat.
    --------------------------------------------------------------------
    Liqo pun diakhiri dengan istighfar, hamdalah dan doa kafaratul majlis; sekitar pukul 17.30 WIB

Kamis, 21 Februari 2013

Manajemen Masalah


Setiap orang pasti punya masalah dalam hidupnya, baik masalah internal ataupun masalah eksternal, masalah pribadi, masalah dengan keluarga, masalah dengan teman dan masih banyak lagi masalah-masalah dalam hidup ini. Sehingga, manajemen masalah adalah hal mutlak yang harus diketahui untuk membantu menyelesaikan masalah kita.
  1.  Menemukan inti masalah
    Sering kali kita menghadapi masalah yang kompleks. Atau tak jarang masalah yang sebenarnya sederhana menjadi rumit. Maka sebelum menemukan penyelesaian atas masalah tersebut, kita harus menemukan inti masalahnya terlebih dahulu sehingga bisa memecahkannya dengan bijak.
  2. Jangan pukul rata semua masalah; prioritaskan masalah yang rumit sebelum menyelesaikan masalah yang ringan
    Suatu hari, seorang dosen masuk ke ruang kuliah dengan membawa ember, batu, kerikil, pasir dan air. Tanpa banyak bicara, beliau memasukkan batu-batu besar yang dibawanya ke dalam ember kosong hingga terlihat penuh. Lalu sang dosen berkata di hadapan mahasiswanya, "Apakah ember ini sudah penuh?" Para mahasiswa serempak menjawab, "Sudah."
    "Benarkah ember ini sudah penuh?" Tanya sang dosen lagi sambil tangannya memasukkan kerikil-kerikil yang dibawanya ke dalam ember yang berisi batu. Sekali lagi sang dosen bertanya, "Apakah sekarang ember ini sudah penuh?"
    "Belum tentu." Seorang mahasiswa menjawab ragu-ragu. Sang dosen tersenyum, "Ya, kau benar." sambil tangannya bergerak memasukkan pasir ke dalam ember yang telah terisi batu dan kerikiln tersebut. Dan untuk ketiga kalinya sang dosen bertanya, "Sekarang, apakah ember ini sudah penuh?"
    "Belum" jawab para mahasiswa dengan mantap. Kemudian sang dosen meraih air dan menuangkannya ke dalam ember yang telah berisi batu, kerikil dan pasir itu hingga benar-benar penuh. Berkatalah sang dosen kepada mahasiswanya, "Apa yang bisa kalian pelajari setelah melihat ini semua?"
    Seorang mahasiswa dengan semangat mengacungkan jari dan berkata, “Maksudnya adalah, tak peduli seberapa padat jadwal kita, bila kita mau berusaha sekuat tenaga maka pasti kita bisa mengerjakannya.”
    “Oh, bukan!” sahut dosen, “Bukan itu maksudnya. Kenyataan dari illustrasi mengajarkan pada kita bahwa bila anda tidak memasukkan ‘batu besar’ terlebih dahulu, maka anda tidak akan bisa memasukkan semuanya.”

    => jika kita ibaratkan ember tersebut adalah diri kita dan isi ember adalah masalah-masalah, batu adalah masalah terbesar dan rumit sedangkan air adalah masalah-masalah ringan dalam hidup kita. Maka untuk menyelesaikan semua masalah itu kita harus membuat skala prioritas masalah. Selesaikanlah masalah-masalah besar dan rumit sebelum kita menyelesaikan masalah kecil. Karena seperti ilustrasi tadi, jika kita menyelesaikan masalah-masalah kecil terlebih dahulu dan mengesampingkan masalah yang besar, maka kita benar-benar tidak akan pernah bisa menyelesaikannya. Seperti jika yang pertama kita masukkan adalah air, ember tersebut akan penuh tanpa bisa menampung pasir, kerikil dan batu-batu besar.
  3. Temukan cara yang paling efektif dan efisien
    Dalam menyelesaikan masalah, pasti ada alternatif-alternatif pemecahan masalah yang bisa kita gunakan dengan kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Pilihlah alternatif pemecahan masalah yang paling efektif dan efisien yang bisa kita lakukan untuk memecahkan masalah tersebut.
  4. Mendesain jalan keluar yang unik dan asik
    Penentuan jalan keluar sebuah masalah akan sangat berpengaruh pada keefektifan pemecahan masalah yang kita hadapi, maka pilihlah jalan keluar yang unik dan asik, yaitu jalan keluar masalah yang tidak biasa serta membuat kita bisa menyelesaikan masalah tersebut dengan hati dan pikiran yang tenang.
  5. Bangun suasana yang menyenangkan
    Jika kita menghadapi sebuah masalah, yang harus kita lakukan agar masalah itu tidak bertambah besar adalah dengan membangun suasana menyenangkan. Selalulah berpikir positif dan tersenyum.
  6. Yakin akan balasan; hukum sebab akibat
    Jika kita mempunyai masalah dengan orang lain, ingatlah hukum sebab akibat yang selalu berlaku. Apabila kita yang bersalah, segeralah bertaubat dan minta maaf kepadanya. Dan apabila seseorang yang berbuat salah terhadap kita, jangan pernah mencoba membalas dendam karena itu artinya kita tidak berbeda dengan mereka, sama buruknya. Yakinlah bahwa kebaikan akan dibalas dengan kebaikan, dan hal paling bijak adalah dengan mendoakan kebaikan bagi orang yang telah menyakiti kita.
    "Jika diibaratkan kesedihan adalah hujan, dan kebahagiaan adalah matahari; maka kita memerlukan keduanya untuk bisa melihat pelangi."
    (Kajian ba'da maghrib di Masjid Al Falah, 21 Februari 2013)

Sabtu, 09 Februari 2013

Itsar: Tingkatan Tertinggi dalam Ukhuwah


Tingkatan terendah dalam sebuah ukhuwah adalah ketika seorang muslim memahami dan mau menerima kekurangan saudaranya dengan lapang dada. Sedangkan tingkatan tertinggi dalam ukhuwah adalah 'itsar' yaitu mendahulukan saudaranya diatas kepentingan diri sendiri meski dalam keadaan sesulit apa pun. Dengan catatan bukan dalam hal ibadah. Ketika sudah menyangkut persoalan ibadah maka tak peduli dengan siapa pun, kita harus berlomba-lomba untuk meraih ridho-Nya.

Kaum Anshar adalah contoh nyata sahabat yang memiliki tingkatan tertinggi dalam ukhuwah dengan dua karakter kuat yang melekat:
1. Mencintai saudaranya,
2. Memiliki kelapangan dada.

Sebagaimana yang telah Allah SWT firmankan dalam QS. Al Hasyr ayat 9: "Dan orang-orang Anshar yang telah menempati Kota Madinah dan telah beriman sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah ke tempat mereka. Dan mereka tidak menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (Muhajirin) atas dirinya sendiri, meski pun mereka juga memerlukan. Dan siapa yang dijaga dirinya dari kekikiran, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung."

Asbabun Nuzul turunnya QS. Al Hasyr ayat 9 adalah sebuah kisah pada zaman Rasulullah. Abu Hurairah berkata, suatu hari datanglah seorang Muhajirin bertamu ke rumah Rasulullah. Maka Rasul SAW pun menanyakan persediaan makanan kepada istri Beliau untuk menjamu tamu tersebut. Namun istri Rasulullah memberitahu bahwa tak ada makanan sama sekali di rumah Beliau saat itu. Lalu Rasulullah berkata pada para sahabetnya, "Semoga Allah merahmati siapa pun diantara kalian yang bersedia menjamu tamunya malam ini."
"Aku akan menjamunya ya Rasulullah." Berkatalah seorang sahabat Anshar, ia pun pulang dan berkata kepada istrinya, "Berikanlah makanan pada tamu Rasulullah ini." Sang istri pun menjawab, "Demi Allah, makanan ini hanya cukup untuk anak kita." "Ajak mainlah anak kita, jika mereka lapar maka tidurkanlah mereka dan padamkanlah lampu. Biarlah kita menahan lapar pada malam ini," pesan sahabat Anshar tadi. Sang istri pun melakukan pesan suaminya itu.
Usai manjamu tamunya, menhadaplah sahabat Anshar kepada Rasulullah. Beliau SAW mengatakan bahwa Allah telah mengirimkan salam kepada sahabat Anshar tersebut, dan turunlah QS. Al Hasyr ayat 9 atas peristiwa tersebut.

Sungguh indah namanya ukhuwah. Iman menumbuhkan cinta, cinta menumbuhkan rela. Kerelaan sebagai wujud cinta persaudaraan akan mendatangkan ridho-Nya. Wallahu a'lam.

(Materi Liqo Hari Jumat 8 Februari 2013, di Masjid Kampus UGM Yogyakarta.)