Selasa, 05 Maret 2013

Pokok-pokok Kaidah Fiqih

Masjid Mujahidin UNY, 03/03/2013

Tadi siang aku datang ke masjid kampus. Satu setengah jam lebih awal dari agenda liqo yang dijadwalkan ba'da asar. Sengaja aku membawa sebuah buku bacaan dari kos, berniat menggunakan waktu sebelum liqo untuk membaca novel -kado ulang tahun dari seorang sahabat- itu.
Sesampainya di lantai dua, mataku memandang sekeliling. Hmmm, suasana hujan seperti ini, masjid memang salah satu tempat yang nyaman untuk menghabiskan waktu, pikirku. Aku pun melangkah ke selatan, sebuah sudut yang sepi dan cukup leluasa untukku mengamati aktivitas orang lain di sana.
Murajaah, tilawah, diskusi, curhat, mainan laptop, mainan hp; mengamati semua itu membuatku urung membaca, akhirnya buku dan pena yang menjadi pilihanku. Corat-coret banyak hal yang begitu saja muncul di benak tatkala mata mengeja makna di setiap gerak yang tercipta berbagai laku manusia.
Tak terasa, adzan asar pun berkumandang, menghentikan semua aktivitas yang ada untuk segera memenuhi panggilan-Nya. Usai shalat asar, aku hampiri seorang ukhti yang tengah berbincang bersama sang Murabbi. Tapi tak serta merta liqo segera dimulai. Setelah ngobrol ngalor-ngidul, sharing tentang banyak hal, dan ukhti-ukhti mulai berdatangan maka akhirnya forum liqo pun dimulai.
 Pokok-pokok kaidah fiqih, inilah materi yang disampaikan sang Murabbi pada liqo pekan ini:
  1. Al umuru bi maqasidiha: segala urusan itu tergantung pada tujuannya
    Seperti yang disebutkan dalam hadits Arba'in yang pertama, Inna a'malu bi niat; sesungguhnya setiap amal perbuatan itu tergantung pada niatnya. Niatlah yang membedakan apakah aktivitas yang kita lakukan itu bernilai ibadah atau hanya sekedar kebiasaan saja.
    Makan misalnya; makan kita hanya akan memberi rasa kenyang jika kita melakukannya sebagai sebuah kebiasaan untuk menghilangkan lapar. Namun makan akan bernilai ibadah jika niat kita benar: makan agar perut kenyang dan tenaga terisi kembali sehingga tidak mengganggu aktivitas ibadah dan amal kita.
  2. Al yaqinu laa yuzalu bisysyak: keyakinan itu tidak bisa dihilangkan dengan keraguan
    Dasar dalam melakukan segala sesuatu adalah yakin. Iman yang kuat akan menghilangkan keragu-raguan. Maka ketika kita ragu-ragu dalam suatu hal, lebih baik tinggalkanlah; ambil sesuatu yang diyakini dan paling mendekati kebenaran.
    Seperti ketika shalat; kadang kita ragu-ragu dalam menghitung rakaat yang sudah terjalani. Sebenarnya kita sudah menjalankan 3 rakaat, tetapi keyakinan kita mengatakan bahwa kita baru menjalani 2 rakaat saja. Dalam keadaan seperti ini, hitunglah sesuai apa yang kita yakini.
  3. Al masyaqqatu tajribu taisira: kesulitan itu bisa menarik kemudahan
    Hal ini bukan berarti menggampangkan. Sulit tidak sama dengan susah. Sulit adalah keadaan dimana apa yang telah kita usahakan tetap tidak bisa menyelesaikannya. Seperti yang Allah katakan dalam QS Al Insyiraah, Inna Ma'al 'Usri Yusra (Sesungguhnya setelah kesulitan ada kemudahan).
    Percayalah bahwa Allah senantiasa mengirimkan kemudahan di setiap kesulitan yang kita hadapi. Allah selalu menyediakan jalan keluar di setiap kebuntuan yang kita hadapi. Dan Allah menjanjikan pertolongan di setiap masalah yang kita hadapi.
  4. Dhararu yuzalu: kemudharatan itu harus dihilangkan
    Ketika akan memutuskan sesuatu, pilihkan kondisi yang paling aman dan tidak merugikan diri kita. Ambil keputusan yang beresiko paling kecil, untuk meminimalisir kemudharatan.
    Misal; suatu ketika kita dalam perjalanan pulang dari mengambil uang di ATM, tiba-tiba ada seorang preman yang sepertinya dalam keadaan mabuk. Preman tersebut menghalangi jalan kita dan memaksa untuk diberi uang yang baru kita dapatkan untuk berjudi. Dia mengancam dengan sebuah pisau di tangan. Maka dalam memutuskan apakah sebaiknya kita memberikan uang tersebut meski kita tahu uang itu akan digunakan untuk berbuat maksiat, atau kita memilih mempertahankan uang tersebut dengan alasan takut berdosa jika uang itu digunakan untuk berjudi namun nyawa kita akan terancam; maka kita harus memilih melakukan hal yang lebih kecil mudharatnya yaitu menyerahkan uang tersebut kepada si preman.
  5. Al 'adatu muhakkamatu: adat kebiasaan itu bisa ditetapkan sebagai hukum
    Adat kebiasaan yang dimaksud disini adalah adat kebiasaan yang tidak menyimpang dari Al Quran dan Hadits, sehingga dapat dijadikan atau diberlakukan sebagai hukum.
    Misalnya dalam hal jual beli; pada zaman Rasulullah tidak ada istilah e-commers atau jual beli online. Dahulu akad jual beli dikatakan sah jika memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan, salah satunya adalah barang yang diperdagangkan itu berwujud sesuai dengan keadaan yang dinyatakan dalam akad. Namun pada masa modern ini kita mengenal istilah jual beli online yang lebih praktis, tidak perlu ada pertemuan langsung antara penjual dan pembeli. Barang dikirim ke rumah pembeli, sedangkan pembayaran dilakukan melalui Bank dengan cara pembeli mentransfer uang kepada rekening penjual. Apakah hal ini dibenarkan dalam islam? jawabannya adalah tergantung. Apabila jual-beli online dilakukan dengan baik, saling percaya, dan tanpa unsur penipuan; karena e-commers telah menjadi adat kebiasaan di era globalisasi ini, maka hal ini diperbolehkan. Contoh lain, masih dalam hal jual beli; dahulu akad jual beli dilakukan dengan ijab qabul antara penjual dan pembeli, tapi sekarang terutama di pasar hal itu tidak relevan untuk dilakukan lagi. Mengingat ijab qabul membutuhkan waktu yang cukup lama dengan beberapa syarat yang harus terpenuhi, jika dilakukan di pasar saat ini maka akan sangat mereporkan. Sehingga cukup dengan serah terima uang dan barang diantara penjual dan pembeli, hukum jual beli sedah dapat dikatakan sah seperti sahnya akad pada zaman Rasulullah.

    Allahu a'lam. Semoga yang sedikit ini dapat bermanfaat.
    --------------------------------------------------------------------
    Liqo pun diakhiri dengan istighfar, hamdalah dan doa kafaratul majlis; sekitar pukul 17.30 WIB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar